Jaimbum

Believe Yourself!

Cerpen: Menembus Dunia!



Menembus Dunia!
Oleh: Jaimbum

"Jadi, siapa yang mau cari buku referensi buat makalah kita?" tanya sang Ketua. Kalau urusan buku, aku pura-pura tak mendengar saja.
            "Woi! Gak ada yang mau bagian ini?!" bentak Ketua dengan suara melengking.
            "Tania, aja!" seruku tanpa memikirkan yang lainnya.
            "Eh, kok?" Tania kaget dengan usulku.
            "Kenapa nggak kau aja, San!" Bobi yang notabene pacar Tania merasa tak terima. Aku menaikkan sebelah alisku.
            "Aku?" tanyaku dengan telunjuk mengarah ke wajah, "aku cuma mau ngotak-ngatik tablet aja." lanjutku, santai.
            Hening ….
            Aku memainkan pulpen, tampak seolah sedang berpikir keras. Tiba-tiba Ketua membentakku. "Sania, kalau memang kamu nggak mau nyari buku referensi dan membacanya, lebih baik kamu keluar dari kelompok ini!" bentaknya dengan tegas. Aku pun terperanjat dan langsung berdiri, tapi aku ditahan Selly, sahabatku.
            ”Sudah, jangan cari ribut, San …" aku pun terduduk kembali, mencoba menahan emosi yang memuncak. Aku tak pernah dibentak di depan umum begini, buat malu saja.
            "Jadi, siapa yang mau cari bahan dari internet?" tanya Ketua, lagi. Aku yang harusnya bersemangat dengan pertanyaan ini menjadi malas bersuara. Selly menyenggol bahuku dan berbisik. "Hei, bukannya ini yang kamu mau?" Selly tampak heran dengan tingkahku. Aku hanya menggeleng.
            Rapat itu pun akhirnya selesai. Sudah terbakar aku di dalam ruangan yang penuh AC, keputusan yang sangat menyebalkan bagiku pribadi.
            "Oke, jadi Selly dan Sania mencari buku referensi dan pastinya membaca buku yang mereka dapatkan," kalimat menyebalkan ini masih saja terngiang di telingaku.
            "Menyebalkan!" gerutuku saat berada di dalam bus. Kuperhatikan orang-orang di dalam bus. Sangat beranekaragam, senyum simpul pun tersungging di bibirku saat memerhatikan sekeliling. Aku lirik seseorang yang berada di sampingku, sangat serius membaca sebuah buku. Tak kuperhatikan lebih banyak tentang bukunya, aku lebih memerhatikan sosoknya.
            "Pantas saja memakai kacamata kuda. Bacaannya tebal gitu." Aku membatin saat melirik buku di tangannya. Aku tak memerhatikannya lebih lanjut, malas saja kalau sudah berurusan dengan buku.
            Untuk apa ada buku, kalau semuanya sudah lengkap terpampang di internet. Dengan internet aku bisa menjangkau dunia! Sungguh, membaca itu membosankan ….

***

            "Jadi, kapan kita ke toko buku?" baru saja tiba di kelas, Selly langsung membuatku bad mood dengan pertanyaannya.
            "Nunggu aku duduk dulu, bisa nggak?" sewotku tak keruan, aku membanting tasku lalu keluar.
            "Jadi, kapan?" lagi, saat istirahat Selly langsung memburu jawabanku. Benar-benar menyebalkan.
            "Tahun depan!" sahutku kesal.
            "Sania …, aku serius!" Selly balas membentakku. Aku makin sewot tak keruan.
            "Aku nggak punya banyak waktu, San. Kalau kamu mau kita pergi bareng, ya, sore ini!" tegasnya. Aku hanya diam, “tapi, kalau kamu mau nyari sendiri, terserah!" lanjutnya dengan kesal, lalu pergi meninggalkanku sendiri di kantin. Selepas kepergiannya, aku hanya ngedumel.
            "Yaudah, aku nyari sendiri. Emang aku nggak bisa apa?!" dumelku sambil menelan bakso bulat-bulat, alhasil aku tersedak!

***

            Kulangkahkan kaki memasuki sebuah toko buku yang kuketahui paling bagus di kotaku. Aku pun mengetahuinya tak lepas dari kerajinanku browsing. Toko buku yang besar dan sepertinya sangat berkualitas, tapi … lihatlah ke dalam toko itu! Sepi sekali. Benar-benar minat membaca sangat kurang! Aku tak salah, kan kalau aku kurang berminat dalam hal membaca buku. Dengan surfing, aku bisa mendapatkan banyak hal, kenapa harus membaca lagi?! Aku masih saja berpikir seperti itu.
            "Selamat datang, Mba." Sambut penjaga toko dengan baik dan bersahabat. Aku hanya memamerkan senyum. Aku masuk lebih dalam, menelusuri semua rak tentang buku referensi yang kucari. Tak lama, hanya lima belas menit aku sudah mendapatkan semua buku yang telah disuruh Selly tuk dibeli.
            Saat aku ingin ke kasir, langkahku pun terhenti seiring dengan mataku yang menangkap sosok yang setidaknya kukenal.
            "Itu kan, yang kemarin baca buku di bus," gumamku sembari berpikir.
            "Iya, gak salah lagi!" seruku, aku mencoba mendekatinya. Aku penasaran saja dengannya, dia kutu buku sekali.
            "Hai, Mba?" sapaanku ternyata mengagetkannya.
            "Eh, iya." Jawabnya cukup gelagapan. Dia sepertinya mencari sosokku. Apa aku tak tampak?
            "Maaf, ya Mba ngagetin," aku mencoba tersenyum. Dahinya malah berlipat. Aku heran, apa ada yang salah denganku?
            "Maaf, ya. Saya seorang tunanetra," jelasnya membuatku terperanjat. Tunanetra ke toko buku? Batinku.
            Aku masih terpaku, dia pun tertawa. "Heran ya?" selidiknya ingin tahu. Aku mengangguk.
            "Bodoh!" gumamku, memukul kepala. Dia kan tidak bisa melihat. Kenapa aku mengangguk? Aku menggerutu, menyadari kebodohanku.
            "Kemarin saya lihat Mba di bus," aku mencoba memulai obrolan ringan.
            "Oh, yang duduk di samping saya?" dia kembali meletakkan buku di tangannya kembali ke rak. Sangat rapi! Tak tampak dia seorang tunanetra. Pun, dia tak memakai tongkat, seperti halnya tunanetra.
Aku bengong sendiri. Hening.
            "Kamu cari buku apa?" suaranya membawaku kembali ke dunia nyata.
            "Eh, udah kok Mba. Cuma nyari buku titipan teman," sedikit gelagapan aku menjawab.
            "Gimana kalau kita ngeteh dulu," tawarannya membuatku sedikit tertarik, "Oh, ya namamu siapa?" lanjutnya dengan senyum di bibir.
            "Saya Sania, Mba. Kalau, Mba?"
            "Saya, Tantri." Senyum terus terpahat di bibir mungilnya. Dia berjalan layaknya orang normal, aku saja heran dibuatnya.
            "Mba, nggak mau saya tuntun?" aku mencoba tak merendahkannya. Semoga saja dia mengerti maksudku.
            "Haha, nggak usah. Udah biasa kok," jawabnya sambil terus berjalan. Aku mencoba berjalan beriringan dengannya.
            "Di dekat sini ada cafe teh yang enak," ujarnya.
            "Iya, Mba. Aku melihatnya dari sini."
            Kami pun memasuki cafe tersebut. Mba Tantri yang memilih tempat duduk untuk kami berteh ria. Aku hanya menurut saja, sedikit terselip rasa kagum atas kemandiriannya. Aku duduk, pun begitu dengannya.
"Kamu kuliah atau SMA?" sambil menunggu teh, kami berbincang.
            "Masih SMA, Mba," dia tampak mengangguk. Teh kami pun sudah terhidang. Perlahan aroma teh memenuhi rongga hidungku. Sangat hangat badanku ketika aku sedikit menyesap teh tersebut.
            "Kamu suka membaca?" pertanyaannya membuatku sedikit terbatuk, "kamu nggak papa?" dia tampak khawatir mendengarku terbatuk.
            "Nggak papa, Mba. Saya kurang suka membaca,"
            "Hah? Kenapa?" dia tampak kaget, "bukankah membaca itu menyenangkan?" lanjutnya. Aku kembali meletakkan tehku ke tatakannya.
            "Gak tau, Mba. Saya lebih suka surfing," dia sedikit heran denganku.
            "Apa surfing lebih baik dari membaca buku?" aku bersiap mengeluarkan pendapatku.
            "Dengan surfing saya bisa menjangkau dunia, Mba." Jawabku menggebu.
"Benarkah?" kulihat matanya berbinar seperti mendapatkan sesuatu.
            "Iya, Mba,"
            "Kalau saya normal, mungkin bisa membandingkan antara surfing dan membaca," wajahnya tampak menyesal, "aku buta sejak umur 6 tahun, jadi aku nggak tahu tentang surfing," dia terdiam sejenak, terselip rasa bersalah di benakku.
            "Mungkin kalau surfing sama dengan membaca huruf braille, aku bisa." guraunya membuatku tersenyum.
            "Kalau Mba, kenapa suka baca?" aku sedikit mengalihkan obrolan.
            "Memang apa lagi yang bisa dilakukan orang buta seperti saya untuk dapat ilmu, selain membaca?" lagi, aku merasa sangat bersalah.
            "Untung saja Louis Braille menemukan metode ini untuk membaca, kalau tidak mana mungkin orang buta seperti saya dapat mengetahui dunia ini." Dia menyeruput tehnya.
            Aku hanya terdiam. "Mungkin bagi kamu, membaca menyita waktu. Tapi bagi saya, membaca itu seperti menembus lorong waktu, mungkin kita memang berbeda." Lanjutnya sambil kembali meletakkan teh ke tatakannya.
            Kalau aku terlahir sebagai tunanetra, apa aku masih bisa menyia-nyiakan buku seperti sekarang ini? Buku dengan huruf braille memberikan kehidupan yang nyata bagi mereka yang sudah tunanetra sejak lahir. Sekarang, aku menyadari buku dengan apapun isinya tetap berguna bagi siapapun.

***

0 Kritik & Saran:

Posting Komentar